Monday, August 20, 2012

Resensi Buku "The Utility of Force"

Apa sih gunanya militer? Kebanyakan orang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban idealis, langsung dari textbook "pendidikan Pancasila":
  • Untuk membela bangsa dan negara!
  • Untuk mempertahankan tanah air!
  • Untuk menjaga harga diri bangsa!
  • dll.

Saya lebih suka jawaban yang lebih kongkrit dan "to the point" tanpa glorifikasi:
  • Untuk membunuh musuh negara.
  • Untuk memberikan ancaman kematian pada musuh negara.
Lebih kongkritkan? Mari kita lanjutkan ke isi buku ini.

Buku "Utility of Force" karangan jendral Rupert Smith ini membahas sejarah aplikasi militer. Beliau menjelaskan secara garis besar ada 2 jenis bentuk perang:
  • Perang industri/industrial war
  • Perang di antara rakyat/war amongst people.
Apa bedanya kedua perang ini? Mari kita analisa, apa saja sih yang harus kita miliki untuk memenangkan sebuah perang? Clausewitz merumuskan hal tsb dalam bentuk sebuah trinitas : kemauan politik (Negara), dukungan rakyat (Rakyat), dan kemampuan militer (Militer). Dari situ kita bisa melihat perbedaan kedua jenis perang ini.


Perang Industri:
"Perang industri" bisa digambarkan dengan diagram di kanan.

Setidaknya 2 negara memiliki kemampuan trinitasnya masing². Militer kedua negara bertempur di medan perang (Panah merah di bawah), sementara politikus kedua negara saling mengajukan tuntutan dan penawaran (panah merah putus² di atas.). Perang industri menitik beratkan pada MILITER. Semua operasi dalam perang industri dimaksudkan untuk melemahkan, menghancurkan militer lawan, sementara segenap kekuatan negara dan rakyat dikerahkan untuk mendukung militer masing².

Itu sebabnya sekutu membom daerah Ruhr dan Tokyo. Mereka hendak melemahkan kapasitas industri yang menghidupi mesin² perang pihak Jerman dan Jepang. Ketika mereka membakar Dresden dan kota² lainpun mereka ingin agar semua rakyat sipil lawan mengungsi ke pedesaan, mematikan semua usaha untuk membangun kekuatan militer.

Perang industri mulai terbentuk setelah revolusi industri menciptakan trobosan tehnologi yang memungkinkan produksi massal senjata, komunikasi antara ribuan orang serdadu yang terpisah ratusan kilometer sekalipun, dll. Perang industri pertama adalah perang Napoleon, yang memperkenalkan 1 trobosan lagi yang fundamental: wajib militer. Mulai saat itu, perang adalah tanggung jawab seluruh bangsa Perancis, bukannya seglintir kaum elitenya dan tentara bayarannya.

Napoleon berkata"Buat apa saya memberitahu lawan cara saya berpikir?" tanya dia balik saat ditanya kenapa dia tak merumuskan ide²nya secara sistematis, membuatnya menjadi sebuah buku. Akhirnya, yang merumuskan semua ide² tsb adalah Carl von Clausewitz dari Prussia/Jerman, dalam bukunya Vom Kriege atau On War.

Intinya, perang industri bisa adalah "perang total," dimana 2 negara mengerahkan segenap kapasitasnya: rakyatnya, industrinya, sumber daya alamnya, segalanya, demi mengalahkan negara lawan. Perang industri semakin jarang terjadi karena perkembangan tehnologi juga: dengan adanya senjata nuklir, perang industri bisa jadi berarti kematian buat semua pelakunya. Karena itulah sekarang ini "Perang di antara rakyat"lah yang lebih sering terjadi.



Perang di Antara Rakyat
"Perang di antara rakyat" jauh berbeda dengan semua itu. Perhatikan diagram di kiri, kali ini "Rakyat" di kedua trinitas tumpang tindih.

Berbeda dengan perang industri, perang di antara rakyat fokus pada RAKYAT, bukan militer. Medan perangnya bukan di perbatasan 2 negara, tapi di tengah² kota. Seringkali, perang ini BUKAN menghadapkan 2 negara, melainkan aktor² non-negara seperti jaringan teroris, gerilya, dll. Medan perang sesungguhnya adalah di "hati dan pikiran" rakyat, dia yang berhasil mendapat dukungan rakyat akan memenangkan perang ini.

"Pertempuran menentukan" tidak akan sebanyak dan sedramatis di perang industri, ini adalah perang untuk menciptakan kondisi, atmosfer, yang makan waktu lebih panjang daripada cuma masalah "tentara siapa menduduki daerah mana" di perang industri.

Dalam perang ini, kedua belah pihak juga akan lebih ber-hati² dalam menggunakan kekuatan mereka. Buat pihak non-negara, hal ini disebabkan jumlah mereka sedikit, mereka takkan bisa mengganti anggota²nya yg tewas dg mudah. Buat pihak negara, korban jiwa juga akan membuat politikus² di ibukota kehilangan dukungan rakyat.


Kondisi Saat Ini
Lalu, apa kritik Smith thd kondisi militer saat ini?


Sederhana, semua militer masih dirancang untuk melakukan perang industri. Mereka memiliki struktur organisasi, perlengkapan, pelatihan, prosedur, dan paradigma perang industri, SAMBIL melakukan "Perang di antara rakyat."

Misalnya, pemerintah AS menghabiskan trilyunan Dolar mengembangkan dan membangun tank, jet tempur canggih, dan artileri berat, padahal semua itu tak berguna dalam perang di antara rakyat. Personil² divisi lapis baja Amerika Serikat adalah contoh lebih spesifiknya. Mereka dilatih untuk mengoperasikan Tank Tempur Utama (MBT) seperti M1 Abrams, tetapi masalahnya M1 Abrams BUKAN senjata yang tepat untuk pertempuran melawan gerilyawan di kota. Akibatnya, mereka akhirnya diterjunkan ke medan perang untuk bertempur sebagai infanteri. 

Smith mengusulkan untuk memodifikasi militer² agar bisa berperang dalam "Perang di antara rakyat." Namun, Smith rasanya terlalu naif ketika dia mengasumsikan risiko perang industri itu amat rendah. Kita sudah melihat masih diperlukannya perang industri ketika Rusia menginvasi Georgia, ketika kita membayangkan skenario ketegangan antara Cina dengan Jepang atau negara² Asia Tenggara atau Korea memuncak menjadi perang, ketika hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia memanas, dst. Militer yang dirancang untuk berperang melawan gerilya takkan bisa menghadapi perang industri. Tanya saja tentara Jepang di Manchuria saat mereka menghadapi invasi Uni Soviet di bulan Agustus 1945.


Mari kita kembali ke awal artikel ini, fungsi militer adalah membunuh musuh negara. Fungsi ini hanya bisa dijalankan dengan baik di saat "MUSUH NEGARA" teridentifikasi dengan baik. Ketika "musuh negara" tak bisa dipisahkan dengan non-musuh, aksi militer tidak akan membawa manfaat untuk negara pemiliknya. Karena itulah saya berpendapat polisi dan jaringan intelijen lebih tepat untuk dijadikan ujung tombak dalam perang melawan teroris. Kedua organisasi ini memiliki paradigma, prosedur, dan pelatihan untuk mengidentifikasi "musuh negara." Militer bisa membantu mereka di banyak kesempatan, misalnya dengan mengoperasikan Predator Drone untuk membom sarang teroris yang sulit dijangkau, atau ketika para teroris memutuskan untuk memulai perang terbuka, tapi militer yang dirancang untuk perang industri tidak tepat menjadi inti dari perang melawan teroris dan gerilya.


Akhir kata, buku ini wajib dibaca untuk orang² yang tertarik pada sejarah militer, orang² yang tertarik untuk mengkritisi "Perang melawan teror," dan orang² yang menggeluti politik luar negeri.


Catatan: Kedua diagram di atas adalah buatan saya sendiri. Silahkan menggunakannya, cantumkan saja saya sbg sumbernya.



No comments:

Post a Comment