Friday, August 24, 2012

Resensi Buku: Carnage & Culture

Sejarah menunjukkan selama 300-400 tahun terakhir, negara² Barat mampu mengalahkan, menaklukkan, dan menjajah kekuatan² di Afrika, Asia, dan Amerika. Kenapa hal ini terjadi? Kenapa bukan Cina atau Ottoman atau Etiopia atau kekuatan² lain yang menguasai dunia? Sejarawan militer, Victor Davis Hanson, menjawabnya dengan buku Carnage and Culture-nya ini.


Thesis
Thesis buku ini sederhana: Negara² Barat berhasil menjadi kekuatan dominan berkat kebudayaan militer yang superior. Perhatikan: Kebudayaan atau kultur TIDAK SAMA dengan bangsa atau ras atau agama. 

Hanson menjabarkan "kebudayaan militer Barat" sebagai kebudayaan yang memiliki hal² berikut:

Kebebasan (Politis dan ekonomi), atmosfer Egaliter, Individualisme, Kemampuan menerima kritik 
Negara² lain biasanya bersifat hirarkikal, dimana raja/kaisar adalah penguasa mutlak yang tak bisa dibantah, yang berada di atas semua orang lain. Individualisme ditekan, semua protes dihukum keras. Xerxes dari Persia misalnya, memutilasi anak seorang gubernurnya ketika sang gubernur MEMOHON padanya agar sang anak tidak dibawa ke medan perang karena sang gubernur butuh sang anak untuk menjaga dan menemaninya. 

Mentalitas mencari pertempuran yang menentukan
Pada umumnya, kebudayaan² Barat lebih memilih konfrontasi langsung, dan menghindari perang gerilya. Ketika keadaan benar² genting, barulah mereka mengandalkan gerilya. Bahkan ketika mereka kalah jumlah, pihak Barat biasanya TETAP mencari pertempuran terbuka, mengadu tentara mereka dengan tentara lawan di medan perang secara frontal.

Citizen Soldier (Warganegara sbg tentara)
Tentara² kebudayaan Barat bertempur sbg warganegara, bukan sebagai budak, bukan sbg tentara bayaran yang mengharapkan uang. Ketika Roma kehilangan banyak serdadu mereka dalam pertempuran Cannae, Roma langsung menggantikan kerugian tsb dg warganegara mereka yang lain. Ketika Kartago kehilangan tentaranya, warga mereka BUKAN penggantinya, dan merekapun menghabiskan uang, energi, dan waktu lebih banyak untuk menggantikannya. Pada akhirnya Roma mengalahkan Kartago karena Roma BISA mengganti kerugiannya dengan lebih mudah, murah, dan efisien.

Titik berat pada infanteri berat
Dari hoplite Yunani, Phalanx Macedonia, dan legiuner Romawi, militer Barat menekankan diri pada infanteri berat. Bukan kavaleri (Mongolia, Arab, Hun, dll) atau infanteri ringan (Aztec, Maya, Inca.) Infanteri berat berarti tentara² tsb harus dilatih secara intensif, memiliki armor yang memadai, dan relatif flexibel. Kavaleri memang memiliki keunggulan di tanah terbuka, tapi kuda itu mahal, jadi militer berbasiskan kavaleri tak bisa menjadi militer egaliter.

Rasionalisme
Tidak semua inovasi militer adalah buatan Barat. Bubuk mesiu misalnya, adalah penemuan Cina. Namun tetap saja, Baratlah yang pertama kali menggunakan mesiu dengan intensif, efisien, dan menyeluruh. Rasionalisme Barat memungkinkan peningkatan ilmu secara sistematis, penemuan² baru, perkembangan, dan kemajuan exponensial dalam berbagai bidang, termasuk tehnologi dan organisasi militer.

Kapitalisme
Suka tak suka, tidak ada perang yang gratis. Sebuah negara tak mungkin punya militer yang kuat tanpa ekonomi yang kuat. Negara² Barat adalah penemu dan penerap kapitalisme modern. Bandingkan dengan Turki Ottoman misalnya. Di pertempuran Lepanto antara 2 kekuatan ini, admiral Ali Pasha, menantu sultan Ottoman sendiri, membawa ber-peti² koin emasnya di kapal perangnya. Dia melakukan hal itu sebab dia takut uangnya diambil pemerintah. Kalau admiral tertinggi dan menantu sultan saja memiliki ketakutan tsb, apalagi rakyat jelata? Bagaimana ekonomi bisa berfungsi dengan baik saat tidak ada kepercayaan pada pemerintah? Admiral² Barat dalam pertempuran Lepanto tidak melakukan hal itu sebab mereka percaya, harta mereka di rumah mereka takkan diambil begitu saja oleh junjungan mereka. Itulah yang membuat kekuatan² Eropa yang waktu itu wilayahnya lebih kecil, rakyatnya lebih sedikit, sumber daya alamnya lebih jarang, dll bisa sama kayanya dengan kesultanan Ottoman yang meliputi Mediteran Timur.

Disiplin
Sebelumnya, saya sudah pernah bilang seorang "warrior" BUKAN seorang "soldier." Warrior mengandalkan keberanian, soldier mengandalkan disiplin. Tentara² Barat mengalahkan Warrior² dari kekuatan lain bukan cuma karena keunggulan tehnologi semata, tapi juga keunggulan organisasi, formasi, dan pemilihan posisi yang mustahil dimiliki oleh kumpulan warrior, oleh tentara tanpa disiplin.

Jadi, intinya kebudayaan militer Barat itu berdasarkan pragmatisme yang amoral. Yup, Hanson menyatakan, cara Barat berperang itu AMORAL, militer Barat cuma perduli tentang efektivitas militer mereka, bukannya apakah cara berperang mereka sesuai dengan kitab suci. Dia juga menyatakan, agama Kristen yang pasifis sempat MENGGANGGU budaya militer ini, dan berujung pada melemahnya kekaisaran Romawi, dan dimulainya "Abad kegelapan."

Untuk mendukung argumennya, Hanson menganalisa banyak pertempuran² terpenting dalam sejarah: pertempuran Salamis, Gaugamela, Cannae, Poitiers/Tours, Tenochtitlan, Lepanto, dan Midway, serta 2 perang: perang Zulu dan perang Vietnam. Setiap pertempuran dan perang tsb menunjukkan betapa pentingnya nilai² kebudayaan militer Barat secara holistik, secara menyeluruh.

Para penggemar sejarah akan langsung sadar, tidak semua contoh yang dianalisa Hanson berujung pada kemenangan Barat. Pertempuran Cannae dan perang Vietnam berakhir dengan kekalahan pihak Barat. Di sini Hanson menekankan, kebudayaan militer Barat TIDAK menjamin kemenangan di SEMUA pertempuran dan perang. Pertempuran Cannae adalah bencana militer terbesar yang diterima republik Roma, tapi Roma berhasil mengalahkan Kartago di perang tsb karena Roma memiliki "Citizen soldier" berbeda dengan Kartago yang sepenuhnya menggunakan budak, tentara bayaran, dan tentara² dari suku lain. Untuk contoh perang Vietnam, Hanson menitik beratkan fakta bahwa Amerika Serikat TIDAK PERNAH KALAH dalam 1 pertempuranpun dalam perang Vietnam. Kekalahan di perang Vietnam adalah akibat dari kesalahan strategi yang diperbesar oleh propaganda lawan. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan: "Kalau begitu kebebasan berpendapat juga bisa melemahkan militer?" Yup, Hanson setuju dengan hal itu SAMBIL mengingatkan, kebebasan berpendapat juga yang membuat pihak Amerika bisa mundur dari Vietnam tanpa kehilangan negaranya. Bandingkan dengan Uni Soviet yang kehilangan negaranya setelah mundur dari Afghanistan.

Mungkin anda juga menyadari, 9 hal di atas kini dimiliki oleh kebudayaan² lain. Di sini Hanson juga menekankan, kebudayaan lain boleh memiliki 1-2 hal di atas, tapi tidak pernah kesembilannya secara bersamaan. Ketika mereka berhadapan dengan Barat, perbedaan² itulah yang menentukan, yang memberikan pihak Barat keunggulan militer.

Selain itu, Hanson juga menekankan, semua hal di atas itu harus dilihat secara RELATIF, sesuai dengan masanya, dibandingkan dengan kekuatan² lain. Yunani di zaman Themistocles misalnya, walaupun mereka percaya kebebasan, faktanya mereka juga memiliki, menjual, dan membeli budak. Yunani jaman itu bisa disebut "bebas" dibandingkan dengan Persia, dimana konsep "kebebasan" sendiri tak exist, dimana gubernur sekalipun praktis adalah budaknya sang raja.


Perbandingan dengan "Guns Germs and Steel"
Buku ini sering dibandingkan dengan bukunya Jared Diamond, Guns Germs and Steel. Hanson sendiri terang² menyatakan dia TAK SETUJU dengan thesis buku Diamond tsb, yang menyatakan faktor geografis dan biologis sbg penyebab utama dominasi Barat. Namun, saya sendiri tak merasa kedua buku tsb "mutually exclusive." 

Hanson TIDAK PERNAH membahas darimana asal kebudayaan militer Barat. Dia sempat menyinggung agama Kristen yang bersifat pasifis sempat menghambat budaya militer ini, tapi selain itu dia tidak membahas asal muasal budaya militer Barat. Guns Germs and Steel bisa menjelaskan asal muasal budaya militer ini, setidaknya secara parsial.


Carnage & Culture dan Konsep Khilafah Global
Buku ini sangat berguna ketika kita membahas masalah Khilafah. Kalau Hanson benar, Khilafah TAK MUNGKIN mendominasi negara Barat.

Para penganjur Khilafah biasanya terobsesi dg "Kehormatan" sehingga mengritik sesuatu secara terbuka biasanya berakibat fatal untuk si pengritik. Artinya, mendirikan ulang Khilafah cuma MENGULANG inferioritas tsb. Akibatnya: militer dan masyarakat Khilafah tak mungkin memiliki kebebasan berpendapat. Para penganjur Khilafah juga terus menerus mengumandangkan tentara mereka adalah jihadis, bukannya citizen-soldier. Mereka juga mengekang rasionalisme dengan agama. Terakhir, mereka menolak riba yang merupakan salah 1 prinsip terdasar dalam kapitalisme. Mundurnya Ottoman dan dominasi Barat atas mereka adalah akibat hal² tsb. 

Kesultanan Ottoman mencoba menutupi kekurangan mereka dengan mengadopsi SEBAGIAN inovasi Barat. Mereka mendatangkan ahli² militer Barat, membeli senjata Barat, bahkan membuat tentara mereka mengenakan seragam seperti tentara Barat. Nope, tak cukup. Adopsi separuh² seperti ini malah membuat pihak Ottoman makin lemah: mereka jadi harus mengeluarkan banyak uang untuk semua hal ini, dan mereka gagal membangun militer ala Barat yang mandiri. Mereka tak pernah bisa mengemulasikan kekuatan militer Barat.

Hal serupa terjadi pada Jepang. Negara matahari terbit ini lebih berhasil mengadopsi militer Barat. Mereka bahkan berhasil mengembangkan industri militer yang membangun mesin² perang berkualitas tinggi. Torpedo, kapal terbang, kapal perang, taktik pertempuran laut malam mereka semuanya JAUH lebih baik daripada pihak Amerika Serikat. Namun, begitu Amerika Serikat mencurahkan waktu, tenaga, dan uangnya ke industri militernya, dengan cepat mereka kehilangan keunggulan² tsb. Kapal terbang Zero mereka dg mudah ditembak jatuh Hellcat dan Corsair. Taktik pertempuran laut malam Amerika membaik, dan mereka memiliki radar yang jauh lebih canggih. Kapal perang Amerika juga memiliki sistem damage control, dan pemadam api yang jauh lebih canggih. Inisiatif² pribadi dari opsir² Amerika Serikat berbuah pada inovasi taktik, pemecahan kode Jepang, dll. Intinya: kebebasan, dan kemampuan menerima kritik itu fundamental dalam menciptakan militer yang superior.

Khalifah tak memiliki hal² ini. Kita sudah melihat hal serupa sedang terjadi di Timur Tengah. Militer Israel yang de facto adalah militer Barat mengalahkan militer² negara Arab, HAMAS, FATAH, Hezbollah, dll. Negara² Arab tsb mencoba membeli senjata² canggih dari Rusia, Cina, bahkan negara² Barat, tapi mereka tetap tak bisa mengalahkan Israel. Dominasi Israel di medan perang begitu nyatanya, sampai² negara² arab sekarang menolak menyerang Israel dalam perang terbuka. 

Mari kita berpikir lebih jauh lagi: SEANDAINYA negara² non-Barat mengadopsi budaya militer Barat secara holistik, apakah mereka tetap mau berperang dengan kekuatan² Barat? Pertanyaan yang lebih fundamental lagi yang tidak ditanyakan Hanson secara langsung adalah: Apakah mereka masih bisa dibedakan dari Barat secara kultural? Reformasi militer non-Barat menjadi militer Barat secara holistik berarti reformasi budaya secara keseluruhan. Nope, para penganjur Khilafah takkan mengijinkannya.


Kesimpulan akhir: 
Buku ini amat disarankan untuk orang² yang tertarik memplajari sejarah, terutama sejarah militer, sejarah kultur, dan sejarah perbandingan.


No comments:

Post a Comment