Showing posts with label Sejarah Militer. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Militer. Show all posts

Friday, August 24, 2012

Resensi Buku: Carnage & Culture

Sejarah menunjukkan selama 300-400 tahun terakhir, negara² Barat mampu mengalahkan, menaklukkan, dan menjajah kekuatan² di Afrika, Asia, dan Amerika. Kenapa hal ini terjadi? Kenapa bukan Cina atau Ottoman atau Etiopia atau kekuatan² lain yang menguasai dunia? Sejarawan militer, Victor Davis Hanson, menjawabnya dengan buku Carnage and Culture-nya ini.


Thesis
Thesis buku ini sederhana: Negara² Barat berhasil menjadi kekuatan dominan berkat kebudayaan militer yang superior. Perhatikan: Kebudayaan atau kultur TIDAK SAMA dengan bangsa atau ras atau agama. 

Hanson menjabarkan "kebudayaan militer Barat" sebagai kebudayaan yang memiliki hal² berikut:

Kebebasan (Politis dan ekonomi), atmosfer Egaliter, Individualisme, Kemampuan menerima kritik 
Negara² lain biasanya bersifat hirarkikal, dimana raja/kaisar adalah penguasa mutlak yang tak bisa dibantah, yang berada di atas semua orang lain. Individualisme ditekan, semua protes dihukum keras. Xerxes dari Persia misalnya, memutilasi anak seorang gubernurnya ketika sang gubernur MEMOHON padanya agar sang anak tidak dibawa ke medan perang karena sang gubernur butuh sang anak untuk menjaga dan menemaninya. 

Mentalitas mencari pertempuran yang menentukan
Pada umumnya, kebudayaan² Barat lebih memilih konfrontasi langsung, dan menghindari perang gerilya. Ketika keadaan benar² genting, barulah mereka mengandalkan gerilya. Bahkan ketika mereka kalah jumlah, pihak Barat biasanya TETAP mencari pertempuran terbuka, mengadu tentara mereka dengan tentara lawan di medan perang secara frontal.

Citizen Soldier (Warganegara sbg tentara)
Tentara² kebudayaan Barat bertempur sbg warganegara, bukan sebagai budak, bukan sbg tentara bayaran yang mengharapkan uang. Ketika Roma kehilangan banyak serdadu mereka dalam pertempuran Cannae, Roma langsung menggantikan kerugian tsb dg warganegara mereka yang lain. Ketika Kartago kehilangan tentaranya, warga mereka BUKAN penggantinya, dan merekapun menghabiskan uang, energi, dan waktu lebih banyak untuk menggantikannya. Pada akhirnya Roma mengalahkan Kartago karena Roma BISA mengganti kerugiannya dengan lebih mudah, murah, dan efisien.

Titik berat pada infanteri berat
Dari hoplite Yunani, Phalanx Macedonia, dan legiuner Romawi, militer Barat menekankan diri pada infanteri berat. Bukan kavaleri (Mongolia, Arab, Hun, dll) atau infanteri ringan (Aztec, Maya, Inca.) Infanteri berat berarti tentara² tsb harus dilatih secara intensif, memiliki armor yang memadai, dan relatif flexibel. Kavaleri memang memiliki keunggulan di tanah terbuka, tapi kuda itu mahal, jadi militer berbasiskan kavaleri tak bisa menjadi militer egaliter.

Rasionalisme
Tidak semua inovasi militer adalah buatan Barat. Bubuk mesiu misalnya, adalah penemuan Cina. Namun tetap saja, Baratlah yang pertama kali menggunakan mesiu dengan intensif, efisien, dan menyeluruh. Rasionalisme Barat memungkinkan peningkatan ilmu secara sistematis, penemuan² baru, perkembangan, dan kemajuan exponensial dalam berbagai bidang, termasuk tehnologi dan organisasi militer.

Kapitalisme
Suka tak suka, tidak ada perang yang gratis. Sebuah negara tak mungkin punya militer yang kuat tanpa ekonomi yang kuat. Negara² Barat adalah penemu dan penerap kapitalisme modern. Bandingkan dengan Turki Ottoman misalnya. Di pertempuran Lepanto antara 2 kekuatan ini, admiral Ali Pasha, menantu sultan Ottoman sendiri, membawa ber-peti² koin emasnya di kapal perangnya. Dia melakukan hal itu sebab dia takut uangnya diambil pemerintah. Kalau admiral tertinggi dan menantu sultan saja memiliki ketakutan tsb, apalagi rakyat jelata? Bagaimana ekonomi bisa berfungsi dengan baik saat tidak ada kepercayaan pada pemerintah? Admiral² Barat dalam pertempuran Lepanto tidak melakukan hal itu sebab mereka percaya, harta mereka di rumah mereka takkan diambil begitu saja oleh junjungan mereka. Itulah yang membuat kekuatan² Eropa yang waktu itu wilayahnya lebih kecil, rakyatnya lebih sedikit, sumber daya alamnya lebih jarang, dll bisa sama kayanya dengan kesultanan Ottoman yang meliputi Mediteran Timur.

Disiplin
Sebelumnya, saya sudah pernah bilang seorang "warrior" BUKAN seorang "soldier." Warrior mengandalkan keberanian, soldier mengandalkan disiplin. Tentara² Barat mengalahkan Warrior² dari kekuatan lain bukan cuma karena keunggulan tehnologi semata, tapi juga keunggulan organisasi, formasi, dan pemilihan posisi yang mustahil dimiliki oleh kumpulan warrior, oleh tentara tanpa disiplin.

Jadi, intinya kebudayaan militer Barat itu berdasarkan pragmatisme yang amoral. Yup, Hanson menyatakan, cara Barat berperang itu AMORAL, militer Barat cuma perduli tentang efektivitas militer mereka, bukannya apakah cara berperang mereka sesuai dengan kitab suci. Dia juga menyatakan, agama Kristen yang pasifis sempat MENGGANGGU budaya militer ini, dan berujung pada melemahnya kekaisaran Romawi, dan dimulainya "Abad kegelapan."

Untuk mendukung argumennya, Hanson menganalisa banyak pertempuran² terpenting dalam sejarah: pertempuran Salamis, Gaugamela, Cannae, Poitiers/Tours, Tenochtitlan, Lepanto, dan Midway, serta 2 perang: perang Zulu dan perang Vietnam. Setiap pertempuran dan perang tsb menunjukkan betapa pentingnya nilai² kebudayaan militer Barat secara holistik, secara menyeluruh.

Para penggemar sejarah akan langsung sadar, tidak semua contoh yang dianalisa Hanson berujung pada kemenangan Barat. Pertempuran Cannae dan perang Vietnam berakhir dengan kekalahan pihak Barat. Di sini Hanson menekankan, kebudayaan militer Barat TIDAK menjamin kemenangan di SEMUA pertempuran dan perang. Pertempuran Cannae adalah bencana militer terbesar yang diterima republik Roma, tapi Roma berhasil mengalahkan Kartago di perang tsb karena Roma memiliki "Citizen soldier" berbeda dengan Kartago yang sepenuhnya menggunakan budak, tentara bayaran, dan tentara² dari suku lain. Untuk contoh perang Vietnam, Hanson menitik beratkan fakta bahwa Amerika Serikat TIDAK PERNAH KALAH dalam 1 pertempuranpun dalam perang Vietnam. Kekalahan di perang Vietnam adalah akibat dari kesalahan strategi yang diperbesar oleh propaganda lawan. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan: "Kalau begitu kebebasan berpendapat juga bisa melemahkan militer?" Yup, Hanson setuju dengan hal itu SAMBIL mengingatkan, kebebasan berpendapat juga yang membuat pihak Amerika bisa mundur dari Vietnam tanpa kehilangan negaranya. Bandingkan dengan Uni Soviet yang kehilangan negaranya setelah mundur dari Afghanistan.

Mungkin anda juga menyadari, 9 hal di atas kini dimiliki oleh kebudayaan² lain. Di sini Hanson juga menekankan, kebudayaan lain boleh memiliki 1-2 hal di atas, tapi tidak pernah kesembilannya secara bersamaan. Ketika mereka berhadapan dengan Barat, perbedaan² itulah yang menentukan, yang memberikan pihak Barat keunggulan militer.

Selain itu, Hanson juga menekankan, semua hal di atas itu harus dilihat secara RELATIF, sesuai dengan masanya, dibandingkan dengan kekuatan² lain. Yunani di zaman Themistocles misalnya, walaupun mereka percaya kebebasan, faktanya mereka juga memiliki, menjual, dan membeli budak. Yunani jaman itu bisa disebut "bebas" dibandingkan dengan Persia, dimana konsep "kebebasan" sendiri tak exist, dimana gubernur sekalipun praktis adalah budaknya sang raja.


Perbandingan dengan "Guns Germs and Steel"
Buku ini sering dibandingkan dengan bukunya Jared Diamond, Guns Germs and Steel. Hanson sendiri terang² menyatakan dia TAK SETUJU dengan thesis buku Diamond tsb, yang menyatakan faktor geografis dan biologis sbg penyebab utama dominasi Barat. Namun, saya sendiri tak merasa kedua buku tsb "mutually exclusive." 

Hanson TIDAK PERNAH membahas darimana asal kebudayaan militer Barat. Dia sempat menyinggung agama Kristen yang bersifat pasifis sempat menghambat budaya militer ini, tapi selain itu dia tidak membahas asal muasal budaya militer Barat. Guns Germs and Steel bisa menjelaskan asal muasal budaya militer ini, setidaknya secara parsial.


Carnage & Culture dan Konsep Khilafah Global
Buku ini sangat berguna ketika kita membahas masalah Khilafah. Kalau Hanson benar, Khilafah TAK MUNGKIN mendominasi negara Barat.

Para penganjur Khilafah biasanya terobsesi dg "Kehormatan" sehingga mengritik sesuatu secara terbuka biasanya berakibat fatal untuk si pengritik. Artinya, mendirikan ulang Khilafah cuma MENGULANG inferioritas tsb. Akibatnya: militer dan masyarakat Khilafah tak mungkin memiliki kebebasan berpendapat. Para penganjur Khilafah juga terus menerus mengumandangkan tentara mereka adalah jihadis, bukannya citizen-soldier. Mereka juga mengekang rasionalisme dengan agama. Terakhir, mereka menolak riba yang merupakan salah 1 prinsip terdasar dalam kapitalisme. Mundurnya Ottoman dan dominasi Barat atas mereka adalah akibat hal² tsb. 

Kesultanan Ottoman mencoba menutupi kekurangan mereka dengan mengadopsi SEBAGIAN inovasi Barat. Mereka mendatangkan ahli² militer Barat, membeli senjata Barat, bahkan membuat tentara mereka mengenakan seragam seperti tentara Barat. Nope, tak cukup. Adopsi separuh² seperti ini malah membuat pihak Ottoman makin lemah: mereka jadi harus mengeluarkan banyak uang untuk semua hal ini, dan mereka gagal membangun militer ala Barat yang mandiri. Mereka tak pernah bisa mengemulasikan kekuatan militer Barat.

Hal serupa terjadi pada Jepang. Negara matahari terbit ini lebih berhasil mengadopsi militer Barat. Mereka bahkan berhasil mengembangkan industri militer yang membangun mesin² perang berkualitas tinggi. Torpedo, kapal terbang, kapal perang, taktik pertempuran laut malam mereka semuanya JAUH lebih baik daripada pihak Amerika Serikat. Namun, begitu Amerika Serikat mencurahkan waktu, tenaga, dan uangnya ke industri militernya, dengan cepat mereka kehilangan keunggulan² tsb. Kapal terbang Zero mereka dg mudah ditembak jatuh Hellcat dan Corsair. Taktik pertempuran laut malam Amerika membaik, dan mereka memiliki radar yang jauh lebih canggih. Kapal perang Amerika juga memiliki sistem damage control, dan pemadam api yang jauh lebih canggih. Inisiatif² pribadi dari opsir² Amerika Serikat berbuah pada inovasi taktik, pemecahan kode Jepang, dll. Intinya: kebebasan, dan kemampuan menerima kritik itu fundamental dalam menciptakan militer yang superior.

Khalifah tak memiliki hal² ini. Kita sudah melihat hal serupa sedang terjadi di Timur Tengah. Militer Israel yang de facto adalah militer Barat mengalahkan militer² negara Arab, HAMAS, FATAH, Hezbollah, dll. Negara² Arab tsb mencoba membeli senjata² canggih dari Rusia, Cina, bahkan negara² Barat, tapi mereka tetap tak bisa mengalahkan Israel. Dominasi Israel di medan perang begitu nyatanya, sampai² negara² arab sekarang menolak menyerang Israel dalam perang terbuka. 

Mari kita berpikir lebih jauh lagi: SEANDAINYA negara² non-Barat mengadopsi budaya militer Barat secara holistik, apakah mereka tetap mau berperang dengan kekuatan² Barat? Pertanyaan yang lebih fundamental lagi yang tidak ditanyakan Hanson secara langsung adalah: Apakah mereka masih bisa dibedakan dari Barat secara kultural? Reformasi militer non-Barat menjadi militer Barat secara holistik berarti reformasi budaya secara keseluruhan. Nope, para penganjur Khilafah takkan mengijinkannya.


Kesimpulan akhir: 
Buku ini amat disarankan untuk orang² yang tertarik memplajari sejarah, terutama sejarah militer, sejarah kultur, dan sejarah perbandingan.


Monday, August 20, 2012

Resensi Buku "The Utility of Force"

Apa sih gunanya militer? Kebanyakan orang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban idealis, langsung dari textbook "pendidikan Pancasila":
  • Untuk membela bangsa dan negara!
  • Untuk mempertahankan tanah air!
  • Untuk menjaga harga diri bangsa!
  • dll.

Saya lebih suka jawaban yang lebih kongkrit dan "to the point" tanpa glorifikasi:
  • Untuk membunuh musuh negara.
  • Untuk memberikan ancaman kematian pada musuh negara.
Lebih kongkritkan? Mari kita lanjutkan ke isi buku ini.

Buku "Utility of Force" karangan jendral Rupert Smith ini membahas sejarah aplikasi militer. Beliau menjelaskan secara garis besar ada 2 jenis bentuk perang:
  • Perang industri/industrial war
  • Perang di antara rakyat/war amongst people.
Apa bedanya kedua perang ini? Mari kita analisa, apa saja sih yang harus kita miliki untuk memenangkan sebuah perang? Clausewitz merumuskan hal tsb dalam bentuk sebuah trinitas : kemauan politik (Negara), dukungan rakyat (Rakyat), dan kemampuan militer (Militer). Dari situ kita bisa melihat perbedaan kedua jenis perang ini.


Perang Industri:
"Perang industri" bisa digambarkan dengan diagram di kanan.

Setidaknya 2 negara memiliki kemampuan trinitasnya masing². Militer kedua negara bertempur di medan perang (Panah merah di bawah), sementara politikus kedua negara saling mengajukan tuntutan dan penawaran (panah merah putus² di atas.). Perang industri menitik beratkan pada MILITER. Semua operasi dalam perang industri dimaksudkan untuk melemahkan, menghancurkan militer lawan, sementara segenap kekuatan negara dan rakyat dikerahkan untuk mendukung militer masing².

Itu sebabnya sekutu membom daerah Ruhr dan Tokyo. Mereka hendak melemahkan kapasitas industri yang menghidupi mesin² perang pihak Jerman dan Jepang. Ketika mereka membakar Dresden dan kota² lainpun mereka ingin agar semua rakyat sipil lawan mengungsi ke pedesaan, mematikan semua usaha untuk membangun kekuatan militer.

Perang industri mulai terbentuk setelah revolusi industri menciptakan trobosan tehnologi yang memungkinkan produksi massal senjata, komunikasi antara ribuan orang serdadu yang terpisah ratusan kilometer sekalipun, dll. Perang industri pertama adalah perang Napoleon, yang memperkenalkan 1 trobosan lagi yang fundamental: wajib militer. Mulai saat itu, perang adalah tanggung jawab seluruh bangsa Perancis, bukannya seglintir kaum elitenya dan tentara bayarannya.

Napoleon berkata"Buat apa saya memberitahu lawan cara saya berpikir?" tanya dia balik saat ditanya kenapa dia tak merumuskan ide²nya secara sistematis, membuatnya menjadi sebuah buku. Akhirnya, yang merumuskan semua ide² tsb adalah Carl von Clausewitz dari Prussia/Jerman, dalam bukunya Vom Kriege atau On War.

Intinya, perang industri bisa adalah "perang total," dimana 2 negara mengerahkan segenap kapasitasnya: rakyatnya, industrinya, sumber daya alamnya, segalanya, demi mengalahkan negara lawan. Perang industri semakin jarang terjadi karena perkembangan tehnologi juga: dengan adanya senjata nuklir, perang industri bisa jadi berarti kematian buat semua pelakunya. Karena itulah sekarang ini "Perang di antara rakyat"lah yang lebih sering terjadi.



Perang di Antara Rakyat
"Perang di antara rakyat" jauh berbeda dengan semua itu. Perhatikan diagram di kiri, kali ini "Rakyat" di kedua trinitas tumpang tindih.

Berbeda dengan perang industri, perang di antara rakyat fokus pada RAKYAT, bukan militer. Medan perangnya bukan di perbatasan 2 negara, tapi di tengah² kota. Seringkali, perang ini BUKAN menghadapkan 2 negara, melainkan aktor² non-negara seperti jaringan teroris, gerilya, dll. Medan perang sesungguhnya adalah di "hati dan pikiran" rakyat, dia yang berhasil mendapat dukungan rakyat akan memenangkan perang ini.

"Pertempuran menentukan" tidak akan sebanyak dan sedramatis di perang industri, ini adalah perang untuk menciptakan kondisi, atmosfer, yang makan waktu lebih panjang daripada cuma masalah "tentara siapa menduduki daerah mana" di perang industri.

Dalam perang ini, kedua belah pihak juga akan lebih ber-hati² dalam menggunakan kekuatan mereka. Buat pihak non-negara, hal ini disebabkan jumlah mereka sedikit, mereka takkan bisa mengganti anggota²nya yg tewas dg mudah. Buat pihak negara, korban jiwa juga akan membuat politikus² di ibukota kehilangan dukungan rakyat.


Kondisi Saat Ini
Lalu, apa kritik Smith thd kondisi militer saat ini?


Sederhana, semua militer masih dirancang untuk melakukan perang industri. Mereka memiliki struktur organisasi, perlengkapan, pelatihan, prosedur, dan paradigma perang industri, SAMBIL melakukan "Perang di antara rakyat."

Misalnya, pemerintah AS menghabiskan trilyunan Dolar mengembangkan dan membangun tank, jet tempur canggih, dan artileri berat, padahal semua itu tak berguna dalam perang di antara rakyat. Personil² divisi lapis baja Amerika Serikat adalah contoh lebih spesifiknya. Mereka dilatih untuk mengoperasikan Tank Tempur Utama (MBT) seperti M1 Abrams, tetapi masalahnya M1 Abrams BUKAN senjata yang tepat untuk pertempuran melawan gerilyawan di kota. Akibatnya, mereka akhirnya diterjunkan ke medan perang untuk bertempur sebagai infanteri. 

Smith mengusulkan untuk memodifikasi militer² agar bisa berperang dalam "Perang di antara rakyat." Namun, Smith rasanya terlalu naif ketika dia mengasumsikan risiko perang industri itu amat rendah. Kita sudah melihat masih diperlukannya perang industri ketika Rusia menginvasi Georgia, ketika kita membayangkan skenario ketegangan antara Cina dengan Jepang atau negara² Asia Tenggara atau Korea memuncak menjadi perang, ketika hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia memanas, dst. Militer yang dirancang untuk berperang melawan gerilya takkan bisa menghadapi perang industri. Tanya saja tentara Jepang di Manchuria saat mereka menghadapi invasi Uni Soviet di bulan Agustus 1945.


Mari kita kembali ke awal artikel ini, fungsi militer adalah membunuh musuh negara. Fungsi ini hanya bisa dijalankan dengan baik di saat "MUSUH NEGARA" teridentifikasi dengan baik. Ketika "musuh negara" tak bisa dipisahkan dengan non-musuh, aksi militer tidak akan membawa manfaat untuk negara pemiliknya. Karena itulah saya berpendapat polisi dan jaringan intelijen lebih tepat untuk dijadikan ujung tombak dalam perang melawan teroris. Kedua organisasi ini memiliki paradigma, prosedur, dan pelatihan untuk mengidentifikasi "musuh negara." Militer bisa membantu mereka di banyak kesempatan, misalnya dengan mengoperasikan Predator Drone untuk membom sarang teroris yang sulit dijangkau, atau ketika para teroris memutuskan untuk memulai perang terbuka, tapi militer yang dirancang untuk perang industri tidak tepat menjadi inti dari perang melawan teroris dan gerilya.


Akhir kata, buku ini wajib dibaca untuk orang² yang tertarik pada sejarah militer, orang² yang tertarik untuk mengkritisi "Perang melawan teror," dan orang² yang menggeluti politik luar negeri.


Catatan: Kedua diagram di atas adalah buatan saya sendiri. Silahkan menggunakannya, cantumkan saja saya sbg sumbernya.



Tuesday, July 31, 2012

Perang Barbary

Perang Barbary adalah perang bersejarah, sebab dalam perang inilah untuk pertama kali marinir Amerika menjejakkan kaki di negara orang lain. Perang ini tak pernah disinggung dalam pelajaran sejarah Indonesia, sebab, mengutip kata-kata para pejabat Republik Mimpi, hal ini adalah hal yang seen-sii-tiif!! Kenapa sensitif? Mari kita simak ...

Sebelum Perang
Afrika utara, abad 17, Laut Tengah. Perompak di.mana-mana, dan perompak ini sangat ditakuti, sebab mereka bukan cuma merampok, tapi juga memperbudak semua non-Muslim yang jatuh ke tangan mereka. Mereka juga ditakuti karena mereka dipasok dan dilindungi oleh para Dey (Sebutan untuk penguasa di daerah Aljazair, Tunisa, dan Libya.). Kerajaan inggris dan perancis saja terpaksa membayar “Uang keamanan” agar kapal-kapal mereka tak diganggu. 

Kapal-kapal Amerika semula tak diganggu, sebab mereka adalah koloni inggris, dan saat perang kemerdekaan dimulai, mereka dianggap sebagai kapal-kapal perancis. Namun, saat tenang berubah saat mereka merdeka. Kini, mereka harus melindungi kapal mereka sendiri, sebab sesuai keinginan mereka, kini mereka bukan bagian dari negara eropa manapun. 

Maka, pihak amerikapun mengikuti teladan pelindung mereka sebelumnya: membayar uang keamanan. Thomas Jefferson yang saat itu menjadi dubes AS untuk Perancis tak setuju. Menurut Jefferson, pembayaran uang keamanan cuma akan mendorong aksi pemerasan lebih lanjut.  

Tahun 1786, Jefferson dan John Adams memutuskan berunding dengan duta besar Libya di London. Mengenai alasan perompakan, inilah yang dilaporkan Jefferson pada kongres (Diambil dari Wikipedia.org):

The ambassador answered us that [the right] was founded on the Laws of the Prophet (Mohammed), that it was written in their Koran, that all nations who should not have answered their authority were sinners, that it was their right and duty to make war upon them wherever they could be found, and to make slaves of all they could take as prisoners, and that every Mussulman (or Muslim) who should be slain in battle was sure to go to heaven.

Jefferson yang sudah panas sebetulnya sudah gatal untuk berperang, tapi John Adams mengingatkan dia bahwa Amerika Serikat saat itu tak memiliki Angkatan Laut yang memadai. Maka, Jeffersonpun memutuskan untuk menahan diri saat itu. Apa yang ditakutkan Jefferson menjadi kenyataan, para Dey terus menerus meningkatkan uang keamanan tsb, sampai² di tahun 1800, seperlima pemasukan negara AS digunakan untuk membayarnya. Kongres Amerika Serikatpun membangun AL untuk persiapan perang.

Perang Barbary
Begitu Jefferson akhirnya menjadi presiden AS di tahun 1801, beliau mengirim armada tempur dan marinir AS ke laut Tengah tahun itu juga. Pengiriman tsb terjadi setelah Yussif Karamanli dari Tripoli kembali meminta “uang keamanan”. Tahun 1805, Yussif menyerah setelah para marinir Amerika mulai merangsek ke Tripoli, dan mau meneken perjanjian damai dengan pemerintah AS. Dia bahkan menerima sejumlah uang yang merupakan “Uang Tebusan” atas pelaut Amerika yang dia tangkap. 

Namun, permasalahan belum selesai. Tahun 1807, perompakan dan perbudakan atas kapal Amerika kembali terjadi. Pihak Amerika saat itu berada dalam posisi tak baik. Hubungan dengan inggris dan perancis memburuk, dan perang melawan inggris di depan mata. Tahun 1812, terjadilah perang melawan inggris. Konsul amerika untuk Dey Aljazair diusir, dan pernyataan perang dikeluarkan oleh sang Dey.

Tahun 1815, perang melawan Inggris berakhir, armada tempur kembali dikirim. Setelah menangkap kapal bendera Aljazair, armada tersebut mengarahkan moncong meriamnya ke Algier, memaksa Dey Aljazair menyerah, mengembalikan semua tawanan, mengganti kerugian materiil Amerika, dan meneken perjanjian yang memastikan tak ada lagi perompakan. Namun, begitu armada amerika berangkat ke Tunisia untuk melakukan hal yang sama, sang Dey mengingkari perjanjian itu. Tahun depannya, armada gabungan dari inggris dan Belanda, yang memutuskan untuk tidak membayar “uang keamanan,” membombardir Algier, memaksa Dey Aljazair meneken ulang perjanjian dengan amerika dan negara-negara lain, mengakhiri secara de facto ancaman para perompak di Laut Tengah. 

Beberapa hal yang menarik dalam perang ini:
  1. Pernyataan dubes Tripoli pada Jefferson, yang menyatakan memperbudak penganut agama lain adalah perintah agama. Saya akan menghargai tanggapan dari saudara-saudara muslim yang menyangkal maupun mendukung, maupun menunjukkan letak pasti ayat Qur'an yang dimaksud sang duta besar.
  2. Adalah menarik, biarpun Amerika tak mau rakyatnya diperbudak, mereka sendiri terus memraktekkan perbudakan sampai puluhan tahun kemudian. Artinya, standard ganda amerika dan kefanatikan Libya sudah berbenturan sejak 200 tahun yang lalu.
  3. Pihak Amerika, setidaknya menurut Wikipedia, tak menggunakan agama sebagai dasar untuk memerangi para perompak ini, biarpun para perompak merasa ini adalah perang agama. Untuk hal ini, saya pribadi angkat topi buat para politikus Amerika. Sebuah perang selalu menjadi lebih kejam begitu sudah menjadi perang agama.
Jadi, sekali lagi, intervensi Amerika Serikat di luar negeri bisa berakibat positif. Dalam hal ini, intervensi Amerika Serikat praktis mengakhiri perbudakan dan pembajakan di laut Mediteran dan Atlantik.



Monday, July 16, 2012

Bom Atom Hiroshima-Nagasaki

Source: wikipedia
Salah 1 kontroversi terbesar abad 20 adalah bom atom Hiroshima-Nagasaki. Apakah keputusan menjatuhkan bom atom tsb adalah keputusan yang benar?

Jawaban singkatnya: keputusan pahit tapi yang terbaik.

Mari kita pikirkan alternatif²nya bila bom atom tak dijatuhkan.

Skenario 1, Jepang baru menyerah setelah Uni Soviet Menyerang:
Skenario pertama adalah skenario favoritnya Tsuyoshi Hasegawa. Menurut sejarawan Jepang ini, penyebab utama menyerahnya Jepang adalah serangan Uni Soviet. Beliau merasa, pemimpin² Jepang benar² merasa Uni Soviet bisa menjadi penengah dengan negara² sekutu lain, memungkinkan mereka mendapatkan perjanjian damai yang jauh lebih menguntungkan. Karena itulah mereka menolak menyerah, dan bom atompun dianggap kurang relevan. Karena itulah Hasegawa yakin pemimpin² Jepang baru kehilangan harapan dan memohon damai ketika "sang penengah" malah menyerang mereka. 

Anggaplah Hasegawa benar dan Jepang menyerah murni karena invasi Soviet, tanpa dijatuhkannya bom atom. Tanggal menyerahnya Jepang takkan sama. Suka tak suka, bom atom mempercepat menyerahnya Jepang. Ditundanya tanggal menyerah Jepang akan berakibat hebat sekali.

1) Jutaan orang akan mati. Ingat, pendudukan Jepang di Indonesia, Malaya, Cina, dll bukan pendudukan baik². Laksaan manusia tewas setiap harinya, jadi rasanya tak berlebihan menebak jutaan orang non-Jepang akan mati akibat kekejaman pasukan Jepang di koloni²nya, di jeda di antara 15 Agustus (Tanggal menyerahnya Jepang setelah dibom atom dan diserbu Uni Soviet) dan tanggal menyerahnya Jepang.

2) Uni Soviet sangat mungkin bukan cuma merebut Manchuria, Korea Utara, dan kepulauan Kuril, tapi juga Korea Selatan dan Hokkaido. Ini artinya tidak akan ada Korea Selatan, cuma ada Korea Utara yang meliputi Korea Selatan juga, dan akan ada "Republik Demokrasi Jepang" yang berkedudukan di Hokkaido. Mungkin saja kota Tokyo jadi akan terbagi 2 juga seperti kota Berlin pasca menyerahnya Jerman.

Tak begitu baguskan dibandingkan kenyataan? Jangan kawatir, ini baru skenario pertama ...


Skenario 2, Jepang menyerah setelah operasi Olympic dan Coronet
Di skenario kedua ini, Amerika Serikat dan sekutu²nya menginvasi Jepang dalam 2 operasi: Olympic (Merebut Kyushu) dan Coronet (Merebut Honshu) sementara saya asumsikan Hokkaido direbut Uni Soviet secara terpisah.

Ini artinya 2 akibat negatif skenario #1 terjadi, DITAMBAH korban jiwa akibat invasi. Ketika pihak Amerika Serikat memperhitungkan korban yg akan jatuh dalam operasi ini, mereka memperhitungkan mereka akan kehilangan 1 juta manusia. Perlu ditegaskan, 1 juta ini adalah korban di pihak sekutu saja. Pihak Jepang sendiri sudah memobilisasi SEMUA penduduknya. Anak² mereka saja diajari menggunakan bambu runcing menusuk perut tentara² sekutu yang mendarat di Jepang. Menghadapi perang total macam ini, tak berlebihan kalau saya bilang korban totalnya puluhan juta jiwa.


Skenario 3, Jepang menyerah tanpa operasi Olympic dan Coronet, tanpa invasi Soviet
Apa yang terjadi seandainya Jepang menyerah tanpa invasi sama sekali?  Jepang mustahil menyerah begitu saja cuma karena kehilangan Okinawa, Mariana, Filipina, Irian, dan Pasifik Tengah. Satu²nya cara membuat Jepang menyerah adalah dengan meneruskan bombardemen udara & laut, sambil memblokadenya, memastikan tak ada bahan mentah atau makanan yang memasuki tanah air Jepang.

Skenario ini berarti tanggal menyerahnya Jepang MUNDUR lagi. Korban di kalangan sekutu bisa diminimalisir, tapi korban sipil Jepang akan terus berjatuhan. Seperti kota² yang dikepung, pulau² Jepang akan dilanda kelaparan, penyakit, dll. Entah butuh waktu berapa lama sampai Jepang benar² menyerah. Artinya, korban jiwa di pulau² Jepang dan koloni² Jepang akan bertambah lagi. 


Sudah jelaskan, skenario apapun yang terjadi tidak terlihat bagus.

Bom atom Hiroshima-Nagasaki sudah pasti membunuh ribuan penduduk 2 kota itu, tapi di saat yang sama menghindari jutaan korban akibat 3 skenario di atas. Jangan salahkan presiden Truman menjatuhkan bom tsb, salahkan petinggi² Jepang yang terobsesi pada Bushido, pada "Kehormatan" pada prinsip "lebih baik mati daripada menyerah!" Seandainya pemerintah Jepang memang rasional, memang perduli pada nasib rakyatnya, mereka sudah menyerah paling lambat saat Filipina jatuh, saat mereka kehilangan akses ke ladang² minyak di Kalimantan, sementara kapal² terbang Amerika dari Mariana membombardir Jepang.


Thursday, May 17, 2012

Jepang Memenangkan Perang Pasifik?

Setelah membahas langkah terbaik Jerman untuk memenangkan perang dunia 2, kini giliran medan perang Pasifik.

Kalau untuk kasus Jerman kebanyakan orang menuding invasi ke Uni Soviet sbg penyebab utama kekalahan Jerman, di medan perang Pasifik kebanyakan orang akan menunjuk pertempuran Midway. Pertempuran ini memang penting, 4 kapal induk Jepang dikaramkan, sementara pihak Amerika cuma kehilangan 1 kapal induk. Namun, Midway bukanlah kunci kemenangan Jepang di perang Pasifik. Peluang pertama Jepang untuk melibatkan level strategi tertinggi, sebelum perang Pasifik dimulai. 

Wednesday, May 16, 2012

Timur Tengah: Kunci Kemenangan Jerman di Perang Dunia 2

Kita semua sudah tahu sejarah perang dunia 2. Poros Berlin-Roma-Tokyo berperang melawan persekutuan Inggris-Perancis-Uni Soviet-Amerika Serikat. Pihak poros berhasil ditundukkan walaupun mereka berhasil merebut Paris, mendekati Moskow, menghancurkan armada Amerika di Pearl Harbor, dst. 

Apakah pihak poros sudah pasti kalah dalam perang ini? Apakah kemenangan pihak sekutu sudah terjamin? Di permukaan, kelihatannya begitu. Inggris dg koloni²nya, Uni Soviet dg sumber daya manusia dan mineralnya, serta Amerika Serikat dengan industri yg terlindung oleh 2 samudera tampaknya tidak akan bisa dikalahkan oleh pihak poros. Atau minimal ... pihak poros butuh mukjizat untuk mengalahkan pihak sekutu. Betulkah sesederhana itu? Tulisan ini akan membahas peluang pihak Jerman dan italia.

Friday, May 11, 2012

Kisah Admiral Yi Soon Shin

Apakah nama Yi Soon Shin terdengar asing bagi anda? Bagaimana dengan Hideyoshi Toyotomi dan Tokugawa Ieyasu? Saya yakin jauh lebih banyak pembaca yang lebih kenal dengan dua orang terakhir yang dikenal sebagai pemersatu Jepang, sebab saat ini sedang terjadi booming semua yang berbau Jepang, terutama di kalangan remaja dan pemuda kita. Sungguh sayang, sebab Yi Soon Shin sangat berhubungan dengan kedua orang ini.

Semua bermula pada tahun 1590 saat Hideyoshi baru saja selesai menyatukan Jepang. Namun, situasi Jepang saat itu masih amat kondusif untuk perpecahan lagi. Kekuasaan masih belum terpusat benar di kalangan Hideyoshi dan semangat berperang masih membara di kalangan bangsawan-bangsawan Jepang. Hideyoshi memutuskan untuk menyalurkan segenap semangat itu keluar untuk menghindari perang saudara. Secara logis pilihan dijatuhkan ke Cina dan Korea, maka dia mengirim utusan ke Korea. Yang diminta utusan itu kepada pihak Korea adalah ijin untuk menggunakan wilayah Korea sebagai pangkalan untuk expedisi militer ke Cina yang saat itu dikuasai oleh dinasti Ming.